Catatan : Rio R Rumagit
Pasca jatuhnya rezim orde baru yang kemudian digantikan era reformasi, Mei tahun 1998 benar-benar membuka gerbang kebebasan aspirasi masyarakat. Apalagi setelah pemerintah pusat dengan legowo merestui pemberlakuan otonomi daerah, atas desakan masyarakat luar pulau jawa yang gencar menyerukan keinginan untuk ‘merdeka’ dari sentralisasi pembangunan. Kaum intelektual di daerah dengan jeli kemudian memanfaatkan moment tersebut untuk berlomba-lomba ‘memerdekakan’ daerahnya masing-masing dengan pemekaran wilayah yang begitu dimungkinkan. Bisa ditebak, dalam waktu singkat jumlah wilayah Kabupaten, Kota, bahkan Propinsi di Nusantara ini bertambah secara signifikan.
Di bumi Nyiur Melambai sendiri sampai sekarang tercatat sudah 7 Kabupaten Kota baru hasil pemekaran yang sudah eksis, setelah sebelumnya Kabupaten Gorontalo memilih ‘bercerai’ dengan Sulut dan secara otomatis menghapus sebutan Bohusami yang telah melekat melekat lama hingga Gorontalo resmi menjadi Propinsi. Ketujuh daerah baru di wilayah Sulut tersebut Masing-masing, Minahasa Selatan, Tomohon, dan Minahasa Utara yang lebih dahulu dimekarkan. Selanjutnya, Minahasa Tenggara menyusul bersamaan dengan pemekaran Siau Tagulandang Biaro (Sitaro) di wilayah Nusa Utara, serta Boltim, Bolmut, dan Kota Kotamobagu di bumi Totabuan. Hal ini menegaskan kuatnya keinginan dari seluruh elemen di masing-masing daerah tersebut untuk mandiri membangun wilayahnya sendiri.
Tak bisa dipungkiri, salah satu latar belakang utama pemekaran dari daerah-daerah tersebut adalah aspirasi masyarakatnya sendiri yang menginginkan perubahan. Hal ini sangat wajar jika melihat kondisi wilayah-wilayah tersebut saat masih tergabung dengan daerah induknya. Minimnya pembangunan, serta jauhnya jangkauan menyebabkan daerah-daerah tersebut relatif lebih tertinggal dibanding dengan daerah lainnya di wilayah Kabupaten yang sama waktu itu. Meski demikian, kenyataan itu juga sangat wajar terjadi mengingat luasnya wilayah sebelum pemekaran tak sebanding dengan anggaran pembangunan yakni DAU dan DAK yang tak mampu menjembatani pemerataan pembangunan di seluruh pelosok wilayah. Contohnya sewaktu Toar-Lumimuut Minahasa masih belum dimekarkan. Praktis, wilayah Minsel, Mitra, Minut, dan Kota Tomohon begitu sulit tersentuh pembangunan memadai. Hal ini dikarenakan anggaran pembangunan saat itu yang tak relevan membiayai wilayah Minahasa yang jika dibandingkan setara dengan luas wilayah propinsi di daerah jawa. Alhasil, pembangunan lebih terpusat di kawasan yang dekat dengan pusat pemerintahan.
Saat ini, daerah Kabupaten Kota baru hasil pemekaran secara fisik telah mengalami perubahan yang menggembirakan. Berbagai infrastruktur penunjang tampak lebih baik dari sebelumnya. Ini tak mengejutkan, karena memang akumulasi anggaran pembangunan baik yang disedot dari pusat berupa DAU dan DAK, maupun Pendapatan Asli Daerah (PAD), dapat dikatakan cukup, apalagi untuk wilayah yang lebih kecil seperti Kota Tomohon. Akselerasi pembangunan di beberapa Beberapa daerah baru bahkan melejit sehingga memberi perubahan mencolok dengan kondisi saat belum dimekarkan. Hal ini jelas memberi tamparan keras bagi para ‘kritikus’ yang selalu menampatkan diri menentang asprasi pemekaran di awal bergulirnya otonomi daerah.
Meski begitu, riak-riak kritis bernada tak puas kerap muncul mewarnai perjalanan pemerintahan di daerah-daerah baru tersebut. Ini bukan tak beralasan. Terbukti sejumlah pejabat di beberapa daerah baru terjerat permasalahan hukum seiring berbagai dugaan penyimpangan yang terjadi dalam pengelolaan uang Negara. Itu bisa jadi merupakan konsekuensi mengingat sejumlah top eksekutif hasil didikan lembaga politik di beberapa daerah baru tersebut terbilang masih ‘hijau’ di blantika birokrasi, yang rawan penyimpangan. Bisa dikatakan, demikianlah proses yang harus dilalui menuju pemerintahan dan masyarakat yang lebih dewasa dan terbuka.
Adanya pro kontra pemekaran wilayah bisa diterima dengan kajian-kajian seperti itu. Meski demikian, secercah asa untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat bisa jadi sedikit terbuka dengannya. Namun catatan kritis yang harus diperhatikan dalam manifestasi pemekaran tersebut ialah, para pemimpin yang dipilih haruslah figur-figur yang benar-benar mampu menampik segala bentuk godaan penyimpangan, mengingat akselerasi anggaran pembangunan seiring bertambahnya jumlah DAU dan DAK. Yang pasti, pemekaran wilayah adalah buah pemikiran intelektual dan aspirasi masyarakat yang terbuka dan meninginkan perubahan baik pemerataan pembangunan, peningkatan kesejahteraan, serta keterjangkauan. ###
Tidak ada komentar:
Posting Komentar