Senin, 31 Agustus 2009

Segenggam Harapan di Bukit Kasih

UDARA siang itu terasa sangat sejuk apalagi saat melalui jalan aspal berkelok-kelok di perbukitan. Sekitar 50 kilometer telah ditempuh dari kota Manado melewati Tomohon menuju jalan di perbukitan ini. Tujuannya satu, mencapai patung salib putih yang berada di perbukitan hijau bila dilihat dari kawasan pantai Bouevard, Manado.

Ternyata patung salib putih ini berada di puncak pertama obyek wisata Bukit Kasih yang berada di Desa Kanonang, Kecamatan Kawangkoan, Minahasa. Setelah tiba di areal Bukit Kasih, kabut tipis masih melingkupi daerah perbukitan di lereng Gunung Soputan tersebut.

Terdapat monumen Kehidupan Bersama di halaman bawah di mana di bagian bawahnya memuat cuplikan isi kitab suci lima agama di Indonesia. Kontur tanah yang berbukit-bukit dengan vegetasi hijau khas dataran tropis menjadikan cuaca di tempat ini sejuk sepanjang hari.

Berkeliling kawasan ini, pengunjung dapat menaiki anak tangga yang berada di sisi kanan maupun kiri monumen itu. Anak tangga di sebelah kiri bentuknya lebih landai dan lebih dekat menuju puncak pertama berupa salib putih setinggi kurang lebih 53 meter.

Sementara itu, anak tangga sebelah kanan lebih menanjak dengan jarak antar anak tangga sangat tinggi. Ujung anak tangga ini pada puncak kedua di mana terdapat lima rumah ibadah agama di Sulawesi Utara yakni Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha. Tetapi bila mau melanjutkan ke puncak pertama, ada pula jalan memutar menuju ke sana.

Keberadaan lima rumah ibadah agama tersebut menjadi penanda dan alasan tempat ini diberi nama Bukit Kasih. Kelima agama dengan rumah ibadah masing-masing berdampingan dengan rukun, bersahabat dan penuh kasih. Inilah semangat yang dibawa saat pembangunan obyek wisata pada 2002 tersebut.

Keistimewaan lain bukit ini, dulunya terdapat waruga atau makam batu leluhur suku Minahasa yakni Toar dan Lumimuut. Saat ini untuk menandai hal itu, dibuatlah patung bergambar wajah kedua tokoh itu di lereng Bukit Kasih, tepatnya di bawah patung salib putih.

Selain itu, di kawasan ini juga terdapat kawah dengan mata air belerang di tengah-tengah bukit. Penduduk sekitar menggunakan mata air hangat ini sebagai sarana mata pencaharian yakni untuk merebus umbi-umbian, jagung manis, kacang-kacangan, dsb. Wisatawan dapat menikmati sajian hangat yang dijual di sekitar areal itu dengan harga yang cukup murah.

Hidangan khas pedesaan itu bisa juga sebagai bekal untuk menaiki sekitar 2.453 anak tangga yang ada di kawasan itu. Bila tiba di puncak, bekal tersebut dapat dinikmati, apalagi udara di tempat itu tergolong dingin.

Setelah berkeliling seluruh area, kaki terasa pegal, tak ada salahnya mencoba mandi air hangat di dekat mata air belerang. Dengan merogoh kocek Rp 5 ribu, khasiat air hangat yang mengandung belerang ini bisa dirasakan. Seperti melancarkan peredaran darah, menyembuhkan kram, penyakit kulit, dsb.

Semua keindahan di bukit yang menjadi simbol kerukunan umat beragama di Sulawesi Utara ini mulai memudar. Pasalnya, saat kunjungan ke sana minggu lalu, tiba di puncak kedua, keadaan lima rumah ibadah sangat memprihatinkan. Atap bangunan yang terbuat dari seng dan genteng sudah berserakan dan ada yang tak ada gentengnya sama sekali.

Saat ditanyakan ke pengelola kawasan wisata tersebut, mereka menjawab sudah ada dana dari pemerintah daerah tetapi hingga kini belum juga cair. Menurut pengelola tempat yang enggan disebut namanya, selama ini ia hanya berharap ada perhatian dari pemerintah terhadap kondisi obyek wisata ini.

Yah, semoga harapan dapat segera digenggam dan tak hanya menjadi sekadar cerita. (Kompas)

(http://kompas.co.id/read/xml/2009/03/11/08062816/segenggam.harapan.di.bukit.kasih)

Mengunjungi Dataran Tinggi Minahasa (Sonder)

Catatan : Charles Roring


Mengunjungi desa-desa Sumonder adalah pengalaman yang tak terlupakan seumur hidup. Wilayah ini terkenal dengan pemandangan alam pegunungannya yang indah serta makanan bercita rasa lezat. Pertama-tama, saya terbang dari Surabaya ke Manado. Kemudian saya naik mobil ke Sonder.

Jika Anda ingin bepergian dan melakukan perjalanan mengelilingi kampung-kampung Sumonder, Anda perlu membuka peta dan mencari di mana pulau Sulawesi berada. Sumonder atau kecamatan Sonder Minahasa terletak di bagian utara pulau itu. Biaya perjalanan ke wilayah ini mungkin agak mahal tetapi biaya hidup di sana sangat rendah atau murah.

Anda bisa menghubungi agen perjalanan terdekat di kota Anda, untuk mencari tahu apakah tersedia paket tur ke Minahasa. Ini adalah sebuah kabupaten yang terletak di bagian utara dari pulau Sulawesi, Indonesia. Saya menghabiskan waktu dua minggu di sana tinggal di sebuah keluarga Minahasa. Saya bepergian kebanyakan dengan kendaraan umum dan mobil keluarga. Kebanyakan dari kota-kota di sana indah. Karena terletak di wilayah pegunungan, kota-kota itu mengikuti kontur perbukitan, lembah, dan lereng-lereng dataran tinggi tersebut.

Orang-orang menanam bunga yang indah-indah di depan rumah mereka. Jadi jika Anda bepergian dari satu kampung ke kampung lainnya, Anda akan melihat bunga berwarna-warni sambil menikmati udara segar.

Di kota-kota seperti Tomohon, Kawangkoan dan Langowan, para pelancong bisa keliling kota dengan menyewa bendi, kereta yang ditarik kuda.Harga untuk satu jam antara dua puluh lima ribu hingga lima puluh ribu (sekitar 2,5 – 5 US dollar).

Di Kawangkoan, wisatawan bisa berhenti sejenak di kios-kios yang menjual kacang goreng. Ada dua atau tiga penginapan. Anda bisa menginap di sana. Hari berikutnya, jika mengunjungi Sonder, Anda bisa meminta sopir untuk singgah makan siang di Terapung Resto – sebuah restoran terapung di mana Anda bisa makan berbagai hidangan ikan nila baik bakar maupun goreng. Rasanya gurih. Desa lain yang terletak sekitar lima belas menit mengemudi adalah Tincep. Para pelancong bisa menikmati beranekaragam bunga yang dijual oleh penduduk kampung. Tincep adalah pasar bunga terbesar di wilayah itu. Ada dua atau tiga air terjun di desa itu. Saya rekomendasikan Anda menginap di Tincep selama satu atau dua hari sebelum melanjutkan perjalanan ke kota lain.

Di samping pasar bunga, sawah dan air terjun, wisatawan bisa menikmati pula wisata arung jeram di desa Timbukar. Jangan lupa untuk membawa jaket pelampung ketika Anda naik perahu.

Orang-orang Minahasa penuh senyum dan tawa. Mereka suka menyanyikan lagu-lagu daerah, bermain musik dan juga minum saguer. Untuk minuman ini, banyak turis yang mengunjungi wilayah ini berkata bahwa minuman yang disuling memiliki kadar alkohol yang tinggi sehingga mampu membuat Anda pusing kepala ketika hendak melanjutkan perjalanan di hari berikutnya. Ketika saguer telah difermentasi dan disuling, produk akhirnya disebut Cap Tikus. Kadar alkoholnya mungkin lebih tinggi dari pada Whiskey. Jadi jangan minum terlalu banyak jika Anda berencana berangkat meninggalkan kampung itu pagi-pagi sekali. Jika masih ada waktu, Anda bisa melakukan kunjungan singkat ke Leilem untuk melihat bagaimana pengrajin-pengrajin setempat membuat perabotan. Lain kali, saya akan menceritakan pengalaman perjalanan di desa atau kota lain. (*)

(http://charlesroring.wordpress.com/2009/06/15/mengunjungi-dataran-tinggi-minahasa/#more-305)

Tompaso, Daerah Penyumbang Kuda Pacu di Indonesia

Memelihara kuda dapat menjadi kesenangan atau hobi tersendiri bagi beberapa kalangan, terutama kalangan orang-orang yang berada. Sehingga tidak heran jika banyak kaum hartawan yang memiliki banyak kuda. Oleh karena itu, peluang menjadi dokter hewan minat dibidang perkudaan sangat terbuka lebar. Dokter hewan sebagai medik veteriner tentunya akan terus menjamin kesehatan kuda yang ditanganinya. Tidak heran jika dokter hewan yang bergelut dibidang ini penghasilan finansialnya relatif cukup bahkan lebih. Namun demikian,Memelihara kuda ternyata bukan hanya dilakukan dari kalangan orang-orang yang berada saja. sebut saja, warga Sulawesi Utara. Kuda atau lebih spesifik kuda pacu menjadi peliharaan mereka sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Kuda pacu asal Tompaso terkenal sejak lama di kalangan penggemar pacuan kuda. Ia menjuarai banyak lomba.

Pagi baru saja merekah di Kecamatan Tompaso, Minahasa, Sulawesi Utara. Udara dingin yang menyelimuti kecamatan yang terletak di kaki Gunung Soputan itu mulai tersaput oleh cahaya matahari. Beberapa anak muda terlihat menggiring kuda-kuda berukuran tubuh tinggi menuju padang rumput dan sungai. Di sana, mereka memandikan kuda-kuda itu, dan membiarkan binatang piaraan itu memamah rerumputan hijau. Pemandangan itu sekilas seperti savana di Sumba, Nusa Tenggara Barat, tempat yang terkenal dengan ternak kudanya itu. Namun, Tompaso juga adalah salah satu kawasan lain di Indonesia timur, yang sudah lama terkenal dengan kuda pacunya.

Menurut catatan, sudah sejak 1950-an warga Tompaso terkenal suka memelihara kuda. Tidak heran bila di sana banyak lahir joki-joki kecil yang terampil menunggang kuda untuk dilombakan. Mereka berpacu di lapang Maesa Tompaso. Kuda asli Tompaso berukuran tinggi 140 sentimeter. Itu ukuran sebelum terjadi persilangan dengan kuda luar yang terkenal bertubuh tinggi. Baru setelah datang kuda-kuda jantan dari Australia, yang dikenal dengan thoroughbred (kuda keturunan murni) maka terjadi perkawinan antara kuda Tompaso dan Australia. Dari hasil perkawinan itu lahirlah kuda pacu yang tinggi tubuhnya 160 sentimeter hingga 180 sentimeter.

Menurut Bupati Minahasa Stefanus Vreeke Runtu, setiap pemilik kuda Tompaso biasanya memiliki sertifikat kepemilikan. “Sertifikat itu berguna untuk menelusuri keturunan kuda,” ujar Vreeke. Kuda-kuda yang ada saat ini adalah keturunan ketiga dari hasil persilangan dengan kuda jantan Australia. Menurut Vreeke, jumlah kuda di Tompaso terdapat rata-rata 1000 ekor per tahun. Tapi, dari jumlah itu yang terjual sekitar 400 ekor dan pembelinya dari luar Tompaso. Para pembeli adalah mereka yang punya hobi pacuan kuda di kota-kota besar, termasuk Jakarta.

Menurut catatan, kuda Tompaso pernah memenangkan beberapa lomba, seperti kuda Prince Star si pemegang rekor nasional nomor 1.100 meter, kemudian Kusuma Bangsa, Royal Prince, Indon yang menjadi juara di nomor Derbi. Kemudian ada juga kuda Noniek Tanjungsari milik pembalap Alex Asmasoebrata. Menurut Vreeke, kuda-kuda Tompaso berbadan kuat dan tegap karena faktor alam. Pengaruh hawa nan sejuk, tersedianya air sungai untuk melatih kuda, juga pakan yang melimpah — seperti jagung, kacang kedele, dedak padi, bungkil kelapa, dan limbah pertanian lainnya — membuat kuda-kuda Tompaso memiliki kelebihan dibanding kuda-kuda lainnya.

Para pemuda di Tompaso sudah sangat terbiasa memelihara kuda-kuda pacu. Reky Woworuntu, pelatih kuda pacu di sana mengatakan bahwa dalam sepekan beberapa kali ada acara pacuan kuda di lapang Maesa Tompaso. Latihan ini sangat berguna untuk melatih otot-otot kuda dan naluri berpacunya. Dengan demikian, kuda yang dipelihara bukan hanya gizinya yang terpenuhi, tapi juga kekuatan dan ketangkasannya. Maka, tak heran bila biaya pemeliharaan kuda di sana terbilang mahal. Dalam sebulan setidaknya harus keluar uang Rp1 juta. Karena biaya pemeliharaan cukup mahal, sudah barang tentu harga jualnya pun terbilang tinggi. Harga jual seekor kuda Tompaso berkisar Rp30-60 juta, dan bahkan bisa mencapai Rp100 juta.

Tapi, kemenangan dalam suatu pacuan kuda bukan hanya tergantung pada faktor kudanya, tapi faktor strategi juga sangat menentukan. Maka, pada saat acara pacuan kuda akan berlangsung, semua joki, pelatih, dan pemiliki berkumpul di pinggir lapang. Mereka mengatur strategi perlombaan, dan juga saling mengintip kuda mana yang akan menjagoi lapangan. Meski hanya latihan tapi acara itu akan menentukan kualitas dan harga kuda. Kuda yang paling kencang larinya, akan ditawar dengan harga tinggi. Namun, bagi Bupati Minahasa, kuda dan lomba itu sedang digalakkan untuk ajang promosi pariwisata. (Imam Firdaus)

(http://www.tanimerdeka.com/modules.php?name=News&file=article&sid=390hara)

Kawangkoan, Strategis dan Menyimpan Banyak Potensi

Catatan : Frans Wowiling
(Mantan Kasubdit Lembaga Komunikasi Masyarakat Kota Direktorat Jarkomsos Depkominfo Jakarta)

TANAH Toar Lumimuut dikenal sebagai bumi Nyiur Melambai, hal ini karena hasil kopranya yang pernah menjadi primadona produk ekspor Sulut ke mancanegara. Itulah tanah Minahasa di ujung utara Provinsi Sulawesi Utara. Kini Kabupaten Minahasa yang telah berusia 579 tahun semakin semarak dengan berbagai even kegiatan untuk berbenah bangun Minahasa.
Kabupaten Minahasa yang tadinya cuma satu wilayah pemerintahan yang cukup luas, sekarang telah berubah menjadi beberapa wilayah pemekaran daerah tingkat dua antara lain Bitung, Minahasa Selatan, Tomohon, Minahasa Utara dan terakhir Minahasa Tenggara. Kalau dicermati lebih jauh perlu pula di sektor /wilayah tengah mendapatkan porsi pengembangan pemerintahan, seperti contoh di sekitar Kota Kawangkoan yang sangat strategis dilihat dari segi geografis berada ‘’di tengah-tengah tanah Minahasa’’, (puser in tana Minahasa). Apalagi di seputar wilayah Kawangkoan tersebar objek-objek wisata yang cukup mempesona dan potensial.

Objek Wisata

Kota Kawangkoan yang berada di titik sentral Tanah Minahasa memang menjadi sangat strategis dalam hal transportasi ke berbagai arah seperti antara lain ke arah utara menuju Tomohon-Manado, Selatan ke Minahasa Tenggara, ke barat Amurang Minahasa Selatan, dan ke timur ke Remboken-Tondano. Dan di sekitar Kawangkoan terdapat situs sejarah purbakala maupun objek wisata rohani yang dibangun di era baru dan sangat mempesona menjadi tujuan wisata budaya. Situs purba di antaranya Watu Pinawetengan, yang disebut sebagai batu pembagian karena kira-kira abad ke-7 para Tonaas berkumpul (orang kuat= pemimpin masyarakat adat) untuk membagi wilayah mukim 4 subetnis Minahasa mula-mula (Tountemboan, Tombulu, Toulour dan Tonsea). Objek Watu Pinawetengan berlokasi di dataran tinggi seputar Gunung Soputan dan Rindengan tepatnya di atas Desa Pinabetengan Kecamatan Tompaso besar (1200 m di atas permukaan laut).
Selain itu di seputar wilayah Kawangkoan tersebar beberapa objek wisata selain Watu Pinawetengan, yaitu lubang perlindungan tentara Jepang saat perang Asia Timur Raya yang berjumlah 50 kamar di atas Sungai Maasem sebelah barat Kota Kawangkoan yang di dekatnya mengalir air panas mengandung b0elerang. Sedangkan objek wisata religi yang dibangun di era 2002 oleh Gubernur Sulut AJ Sondakh bernama Bukit Kasih dimana terdapat prasasti Salib setinggi 40 meter berada di Gunung Rindengan di atas Desa Kanonang Kecamatan Kawangkoan. Objek lainnya arah selatan Kawangkoan adalah arena pacuan kuda Tompaso II yang dikelilingi stable-stable kuda pacu tepatnya berada di kaki bukit Emung. Objek berikutnya adalah sumber air panas di arah timur Desa Kinali Kawangkoan yang menjadi sumber air konsumsi masyarakat Kawangkoan dan sekaligus tempat pemandian air panas.

Potensi
Potensi objek wisata di atas merupakan modal utama bagi Kecamatan Kawangkoan untuk memacu pengembangan kota, apalagi ditunjang dengan posisi strategis di tengah tanah Minahasa. Tersedianya beragam potensi objek wisata yang tersebar di seputar Kawangkoan kalau dikelola lebih baik lagi (oleh investor) dan atau pemda maka lambat laun perkembangan kota semakin strategis dan potensial. Oleh sebab itu bila kemauan baik bersama antara pemerintah dan masyarakatnya dapat diupayakan lebih kreatif lagi, maka tidak mustahil kota ‘’kacang–biapong’’ sebutan popular Kawangkoan pasti menjadi kota yang akan jadi besar dalam pengembangan pemerintahan dan pariwisata. Sesuai arti kata Kawangkoan berasal dari kata ‘’wangko’’ (besar). Memang Kota Kawangkoan kalau ingin jadi besar seperti kota-kota lain maka sebaiknya perlu dicanangkan suatu tekad yaitu: kerja keras, kreatif, dinamis, dan siap hadapi tantangan, membuka diri bagi siapa saja terutama masuknya investor demi untuk meningkatkan potensi ekonomi rakyat Kawangkoan yang dikenal dengan tibo-tibo (pedagang kecil) di samping pengembangan ekonomi pariwisata lebih luas lagi baik di wilayah tengah Minahasa maupun Minahasa dan Sulut pada umumnya, apalagi menyongsong penyelenggaraan WOC yang nantinya menjadi mercusuar bagi kejayaan Sulut di tingkat nasional maupun forum internasional. Sehubungan dengan itu Kawangkoan dan Minahasa Tengah perlu berbenah diri.
Mencermati hal di atas maka hal lain yang terkait erat dengan pengembangan potensi ekonomi dan pariwisata (yang dicanangkan oleh pemerintah provinsi) adalah pengembangan seni budaya Minahasa, seperti yang telah diupayakan dan diprakarsai oleh seorang sosok tou Minahasa kelahiran Magelang Kombes Pol Benny Mamoto yang salam kurun waktu tiga tahun berturut-turut telah banyak berbuat untuk mendorong penggalian seni budaya Minahasa pada khususnya maupun Sulut pada umumnya. Lebih hebat lagi dalam berbagai pergelaran acara selalu menciptakan rekor yang fantastis sehingga masuk dalam standar MURI. Niat mulia ini perlu disokong oleh setiap insan Tou Minahasa agar hasil budaya masa lalu nenek moyang Minahasa tidak akan punah bahkan akan mencuat dikenal dunia.
Lebih jauh tentang Minahasa yang seakan telah ‘’terpecah-pecah’’ (pemekaran wilayah pemerintahan), namun pada 7-07-2007 kembali pada tekad Matuari Maesaan yang digelar panitia festival seni budaya yang digagas Benny Mamoto sebagai upaya positif Tou Kawanua memperkuat persatuan dan kesatuan (Maesaan) orang Minahasa yang pergelarannya di Watu Pinawetengan, sangat penting mendapat apresiasi/suport semua elemen masyarakat.
Kota Kawangkoan yang cuma berjarak 45 km dari Manado di samping berhawa sejuk berada 700m di atas permukaan laut dengan penataan ruang kota yang tertata baik sejak dahulu berdiri, layaknya seperti super blok dimana terdapat banyak perempatan jalan. Sehingga untuk akses jalan ke berbagai lokasi sangat mudah, baik ke arah selatan, utara, timur, dan barat. Posisi inilah yang dapat dikatakan sangat strategis dalam berbagai akses untuk pengembangan pemerintahan dan potensi ekonomi lebih luas lagi termasuk pariwisata dan seni budaya pada khususnya.

Harapan

Semoga Kawangkoan sesuai namanya akan jadi besar (wangko) untuk menjadi penyangga di posisi sentral atau tengah-tengahnya tanah Minahasa dan menjadi harapan alternatif pusatnya pengembangan berbagai potensi Minahasa. Kecamatan Kawangkoan yang saat ini (data Februari 2007) berpenduduk lebih dari 25.000 jiwa dengan 13 keluarahan/desa. Diperkirakan dapat diperluas menjadi dua kecamatan dengan pemekaran kelurahan/desa menjadi sekitar 22 desa. Jika Kecamatan Sonder dan Tompaso besar bergabung maka sangat berpotensi untuk menjadi suatu kawasan strategis pengembangan ekonomi dan seni budaya di wilayah tengah Minahasa. Akankah hal ini dapat diwujudkan menjadi Minahasa Tengah?
Sebagaimana kita ketahui 18 Desember 2007 Kabupaten Minahasa Induk usai melakukan satu even yang bernuansa politik yaitu Pilkada calon bupati dan wakil bupati. Menjadi harapan dari masyarakat Kawangkoan khususnya dan Minahasa Tengah (Tompaso, Kawangkoan, Sonder) pada umumnya bila komitmen dan janji iman peserta Pilkada jadi pasti terealisir, seperti komentar kontestan pasangan ROR-SOK, SVR-JWS, GTI-HOM ketika dimintai komitmennya tentang Minahasa Tengah '‘aspirasi masyarakat Minahasa Tengah pasti akan terealisir, kalau masyarakat ikut berpartisipasi memilih saya, maka kebijakan dan program yang telah disusun sebelumnya di antaranya tuntutan Minahasa Tengah pasti menjadi kenyataan’’.
Torang tunggu jo semoga sukses kemauan bersama/aspirasi masyarakat Minahasa Tengah dapat diakomodir dan direalisir oleh bupati dan wakil bupati terpilih masa jabatan 2008-2013.(*)